30/04/11

CERPEN

Cerpen merupakan bagian dari prosa. Prosa berasal dari bahasa Inggris disebut prose : language is not verse form (poetry). Artinya, prosa bukan dalam bentuk baris-baris seperti puisi (Hornby dalam Zulfahnur, 1997:22). Prosa mempunyai ciri ditulis dalam bentuk cerita atau narasi yang bebas bentuknya.
Menurut Slamet Muljana (dalam Zulfahnur, 1997:22), prosa berasal dari bahasa Latin oratio provorsa yang artinya ucapan langsung, bahasa percakapan, sehingga berarti bahasa bebas, bercerita, ucapan langsung. Berdasarkan pengertian itu, prosa merupakan bahasa percakapan atau lisan, lalu meninggalkan asasnya sebagai bahasa tulisan.
 Menurut  Zulfahnur (1997:23), prosa adalah karangan bebas yang mengekspre-
sikan pengalaman batin pengarang mengenai masalah kehidupan dalam bentuk dan isi yang harmonis yang menimbulkan kesan estetik. Yang dimaksud bentuk adalah alat yang dipakai pengarang untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya seperti bahasa dan gaya bahasa yang menimbulkan kesan estetik. Bentuk disebut juga teknik sastra. Isi adalah segala yang hendak diungkapkan pengarang berupa pemikiran, ide-ide, cita-cita, tafsiran peristiwa-peristiwa kehidupan.
Menurut Zulfahnur (1997:23 – 24), prosa dibagi atas prosa nonsastra dan prosa sastra. Prosa nonsastra di dalamnya terdapat karangan ilmiah, ilmiah populer, dan feature (cerita-cerita). Prosa sastra dibedakan menjadi dua yaitu prosa fiksi dan prosda nonfiksi. Prosa fiksi di antaranya mencakup dongeng, hikayat, roman, novel dan novelet, kisah dan luisan, cerita pendek (cerpen), dan prosa lirik. Prosa nonfiksi termasuk studi, biografi dan autobiografi, sejarah, dan babat.
Cerita pendek atau cerpen adalah hasil karya sastra yang menceritakan suatu (sejemput) kejadian kehidupan pelakunya. Cerita pendek dapat dibaca dalam waktu yang lebih singkat daripada novel. Akhir cerita suatu cerpen tidak usah mengubah nasib pelakunya. Dalam cerpen, pengarang tidak melukiskan seluruh masa kehidupan pelakunya. Yang dipilih hanya sebagian saja, yang benar-benar mempunyai arti untuk ditampilkan (Surana, 1983:27). Pengertian lain tentang cerpen dikemukakan Susatya (1989:36) yang menyatakan bahwa cerita pendek merupakan cerita rekaan atau cerita imajinatif yang pendek, yang sering kita dapati dalam majalah-majalah atau surat kabar. Jumlah kata dalam cerpen kurang dari sepuluh ribu kata. Biasanya cerpen itu dapat diselesaikan membacanya di dalam waktu yang lebih singkat daripada novel. Kalau dalam novel krisis (pergolakan) jiwa pelaku mengakibatkan perubahan nasib pelakunya, maka dalam cerpen krisis tersebut tak perlu mesti menyebabkan perubahan nasib pelakunya. Sumardjo (1986:36-37) melengkapi kedua pengertian di atas dengan menyatakan bahwa cerita pendek adalah cerita yang pendek bersifat rekaan, bersifat naratif, atau penceritaan. Cerpen merupakan cerita atau narasi (bukan analisis argumentatif) yang fiktif (tidak benar-benar telah terjadi), tetapi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja serta relatif pendek. 
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah hasil karya sastra yang menceritakan sebagian hidup pelakunya yang bersifat imajinatif dan naratif serta relatif pendek.
Cerpen yang baik memberi dua manfaat. Pertama, cerita memberi hiburan (dulce). Kedua, cerita dapat memberi pengetahuan atau pendidikan (utile).

1.         Unsur Intrinsik Cerpen
Unsur cerita terdiri atas unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur diluar karya sastra tetapi ikut mempengaruhi munculnya  karya sastra itu. Unsur ekstrinsik meliputi kehidupan, falsafah, cita-cita, ide-ide, budaya, dan adat istiadat yang menopang kisahan cerita. Unsur instrinsik adalah unsur yang ada di dalam karya sastra yang langsung membangun sebuah karya sastra itu. unsur intrinsik dapat ditemukan di dalam naskah cerita.
Yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah unsur instrinsik karya sastra utamanya cerpen.


a.         Pengertian Unsur Intrinsik
Sebuah  karya  sastra  dapat  terwujud  karena  disusun oleh dua unsur
yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur tersebut membentuk kebulatan yang utuh. Yang dibahas dalam hal ini adalah unsur intrinsik. Yang dimaksud dengan unsur intrinsik adalah unsur yang membangun fiksi dari dalam, artinya yang benar-benar ada di dalam karya tersebut (Baribin, 1985:52). Pendapat lain yang sama dengan pengertian tersebut adalah pendapat Zulfahnur (1998:25) menyatakan bahwa pengertian unsur intrinsik ialah unsur dalam dari sebuah fiksi. Unsur intrinsik ini terdiri atas tema, alur, perwatakan, sudut pandang, latar, dan gaya bahasa.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa unsur intrinsik adalah unsur yang terdapat dalam karya sastra yang terdiri atas tema, tokoh cerita, penokohan, alur, setting, sudut pandang, dan amanat. Keutuhan atau kelengkapan sebuah cerpen dapat dilihat dalam unsur-unsur yang membangunnya.
Salah satu unsur pembangun cerpen adalah unsur intrinsik. Unsur intrisik cerpen adalah unsur-unsur pembangun cerpen yang berasal dari dalam cerpen itu sendiri. Unsur pembangun itu terdiri atas tema, tokoh cerita, penokohan, alur, setting, sudut pandang, dan amanat (Baribin, 1985:52). Senada dengan pengertian tersebut, Sukada (1987:43) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan unsur intrinsik cerpen ialah unsur-unsur mengenai cerpen itu sendiri, tanpa kaitannya dengan data di luar cipta sastra tersebut.
Pada dasarnya unsur intrinsik cerpen adalah unsur-unsur yang membangun cerpen dari dalam.
Ada lima macam unsur intrinsik cerpen, yaitu: (1) perwatakan atau penokohan, (2) tema, (3) alur atau plot, (4) latar dan gaya bahasa, dan (5) pusat pengisahan (Baribin, 1985:52). Menurut Zulfahnur (1998:25) bahwa unsur intrinsik cerpen terdiri atas tema, alur atau plot, perwatakan atau penokohan, sudut pandang, latar atau setting, dan gaya bahasa. Kedua pendapat itu sama dalam menentukan unsur intrinsik cerpen. Menurut Zulfahnur (1998:26) bahwa selain tema cerita mempunyai amanat pengarangnya. Amanat diartikan sebagai pesan, gagasan, ajaran moral, dan nilai-nilai kemanusiaan lain.
Pendapat di atas sebenarnya sama. Jadi, dapat disimpulkan bahwa macam-macam unsur intrisik cerpen adalah tema, tokoh, penokohan, alur, setting, sudut pandang, dan amanat.

1)        Tema
Menurut Scharbach (dalam Aminuddin, 2000:91), tema berasal dari bahasa Latin yang berarti ‘tempat meletakkan suatu perangkat’. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.
Scharbach (dalam Aminuddin, 2000:91) mendefinisikan tema is not synonimous with moral or message … theme does relate to meaning and purpose, in the sense. Tema tidak sama dengan moral atau pesan. Tema menghubungkan antara makna dengan tujuan penciptaan pengarangnya.
Kata tema seringkali disamakan dengan pengertian topik, padahal kedua istilah itu mengandung pengertian yang berbeda. Tema merupakan suatu gagasan sentral, sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam suatu tulisan atau karya fiksi. Topik adalah pokok pembicaraan. Yang menjadi unsur gagasan sentral, yang kita sebut tema tadi adalah topik atau pokok pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai oleh pengarang dengan topiknya tadi. Dalam pengertian tema itu tercakup persoalan dan tujuan atau amanat pengarang kepada pembaca (Baribin, 1985: 59-60). Gagasan sentral dalam karya fiksi sebenarnya merupakan gagasan yang mendasari karya fiksi, termasuk cerpen. Susatya (1989:37) memperkuat pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa tema adalah ide atau gagasan yang menjadi dasar penciptaan suatu cerita. Tema merupakan pokok pembicaraan dalam suatu cerita. Sebuah cerita sebenarnya membeberkan suatu ide, cita-cita, gagasan, atau pendirian. Tema merupakan jiwa dari suatu cerita. Dengan kata lain, tema ialah latar belakang sebuah cerita yang biasanya dinyatakan secara tersirat. Pengarang sendiri tidak menyebut-nyebut apa yang menjadi latar belakang atau tema ceritanya, tetapi hal itu dapat kita diketahui setelah membaca cerpen secara keseluruhan, secara utuh.
Sejalan dengan pendapat tersebut Sumardjo (1986:56), mengemukakan bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tetapi mau mengatakan sesuatu pada pembacanya. Sesuatu yang mau dikatakannya itu bisa suatu masalah kehidupan ini. Kejadian dan perbuatan tokoh cerita, semuanya didasari oleh ide pengarang tersebut. Tema tidak perlu selalu berwujud moral atau ajaran moral. Tema bisa hanya berwujud pengamatan pengarang terhadap kehidupan. Kesimpulannya, hanya bahan mentah pengamatannya saja. Pengarang bisa saja hanya mengemukakan suatu masalah kehidupan dan problem tersebut tak perlu dia pecahkan. Pemecahannya terserah pada masing-masing pembaca. Menurut beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tema adalah gagasan atau ide sentral (pokok) yang menjadi dasar penciptaan cerita. Jadi tema cerpen adalah gagasan atau ide sentral yang mendasari karya sastra yang berupa cerpen.

2)        Tokoh
Tokoh adalah pelaku cerita. Menurut Panuti Sudjiman (dalam Zulfahnur, 1998:29), tokoh adalah individu rekaan berujud manusia atau binatang yang mengalami peristiwa atau lakuan dalam cerita.
Tokoh cerita dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh sampingan atau disebut tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh utama adalah tokoh yang menjadi titik sentral perhatian dalam cerita. Tokoh ini berperan menonjol dalam cerita. Tokoh utama mengalami masalah dari awal cerita sampai akhir cerita. Tokoh sampingan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh utama.
Tokoh utama dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang memegang peranan utama dan menjadi pusat sorotan di dalam intsnsitas keterlibatannya di dalam cerita. Tokoh protagonis mempunyai watak baik dan terpuji. Sebaliknya, tokoh antagonis adalah tokoh yang mempunyai watak jahat dan salah. Tokoh protagonis dan tokoh antagonis saling bertentangan dalam sebuah cerita. Pertentangan itu yang membuat cerita itu menarik.
Selain tokoh protagonis dan tokoh antagonis, dalam sebuah cerita kadang ditemukan tokoh tritagonis. Tokoh tritagonis adalah tokoh yang menengahi perselisihan antara tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh tritagonis tidak wajib hadir dalam sebuah cerita.

3)        Penokohan atau Perwatakan
Dalam cerita pendek perwatakan atau penokohan ini merupakan hal yang kehadirannya amat penting, bahkan menentukan. Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Tokoh-tokoh itu rekaan pengarang, maka tokoh-tokoh perlu digambarkan dan hanya pengaranglah yang ‘mengenal’ mereka. Tokoh-tokoh dalam cerita perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh pembaca (Sudjiman, 1990: 23). Menurut Zulfahnur (1997: 28-29) menambahkan bahwa dalam cerita fiksi perwatakan erat kaitannya dengan alur, sebab sebuah alur yang meyakinkan terletak pada gambaran watak-watak yang mengambil bagian di dalamnya, disamping perwatakan dicipta sesuai dengan alur tersebut. Peristiwa-peristiwa cerita yang didukung pelukisan watak-watak tokoh dalam suatu rangkaian alur itu menceritakan manusia dengan berbagai persoalan, tantangan, dan lain-lain dalam kehidup-annya. Cerita ini dapat ditelusuri dan diikuti pekembangannya lewat perwatakan tokoh-tokoh cerita atau penokohan.
Dalam cerita fiksi, termasuk cerpen, dikenal beberapa cara penokohan. Baribin (1985:55-57) menyatakan pendapatnya bahwa dalam perwatakan ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dan perwatakan tokoh dalam fiksi, yakni:
a)      Cara analitik (disebut cara singkap)
Cara analitik adalah cara pengarang memaparkan tentang watak atau karakter tokoh dengan langsung. Pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan sebagainya.
b)      Cara dramatik (disebut pula cara lukis)
Cara dramatik adalah cara pengarang menggambarkan watak tokoh secara tidak langsung, tetapi disampaikan melalui
(1) pilihan nama tokoh (misalnya nama semacam Sarinem untuk babu; Mince untuk  gadis  yang agak genit, Bonar untuk nama tokoh yang garang dan gesit, dan seterusnya);
(2) melalui penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungannya, dan sebagainya; dan
(3) melalui dialog, misalnya baik dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain.
Dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh dalam cerita yang berupa penyajian sifat, sikap dan tingkah laku tokoh baik secara analitik maupun dramatik.

4)        Alur atau Plot
Menurut  Aminuddin (2000:83) alur  adalah rangkaian cerita yang
dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.
Alur atau plot adalah struktur atau rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun secara logis. Dalam pengertian ini alur merupakan suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang tidak putus-putus. Oleh sebab itu, suatu kejadian dalam suatu cerita menjadi sebab atau akibat kejadian yang lain. Kejadian atau peristiwa-peristiwa itu tidak hanya berupa perilaku yang tampak, seperti pembicaraan atau gerak-gerik, tetapi juga menyangkut perubahan cara berpikir, sikap, kepribadian, dan sebagainya.
Alur merupakan tulang punggung suatu cerita yang menuntun kita memahami keseluruhan cerita dengan segala sebab-akibat di dalamnya. Bila ada bagian yang terlepas dari pengamatan tentu kita tidak dapat memahami kecuali kemunculan peristiwa atau kejadian yang lain (Baribin, 1985: 61-62).
Pengertian senada diberikan Zulfahnur (1997:26) dengan menyatakan bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa dalam cerita yang disusun secara logis dan kausalitas. Lebih jauh tentang pengertian dan tahapan-tahapan alur, (Susatya, 1989:73) menyata-kan bahwa alur atau plot ialah susunan peristiwa yang telah membentuk sebuah cerita. Alur ini amat penting dan seakan-akan merupakan kerangka. Pada umumnya alur terjadi dari beberapa tahap. Secara sederhana, tahap-tahap itu disusun sebagai berikut.
Alur cerita rekaan terdiri atas beberapa bagian berikut.
a)    Alur buka yaitu situasi mulai terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikutnya.
b)   Alur tengah, kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks peristiwa.
c)    Alur tutup, yaitu kondisi memuncak sebelumnya mulai menampakkan pemecahan atau penyelesaian.
Karena alur merupakan rangkaian peristiwa dalam cerita, Foster (dalam Zulfahnur, 1997:27) menyatakan bahwa peristiwa itu mempunyai hubungan kausal (sebab akibat), a plot is a narative of events the emhasis falling on causality. Rangkaian peristiwa-peristiwa cerita yang disusun secara logis kausalitas dinamakan alur atau plot.
Berdasarkan aspek tokohnya alur dibedakan menjadi
a)      alur erat
Alur erat terdapat pada cerita yang memiliki pelaku lebih sedikit
sehingga hubungan antarpelaku erat. Tiap-tiap rincian, tiap-tiap tokoh, lakuan, dan peristiwanya merupakan bagian yang vital dan integral dari satu pola alur yang telah dirancang baik-baik, selaras, dan seimbang.
b)      alur longgar
Hubungan tokoh-tokoh longgar karena banyak pelaku. Selain itu
hubungan peristiwa-peristiwa longgar, seolah-olah peristiwa itu berdiri sendiri-sendiri sebagai tidak nampak itu struktur alur.
Berdasarkan fungsinya, alur dibedakan menjadi alur utama dan alur bawahan.
a)        alur utama
Alur yang berisi cerita pokok, dibentuk oleh peristiwa pokok/utama.
a)        alur bawahan (subplot)
Kejadian-kejadian kecil menunjang peristiwa-peristiwa pokok, sehingga cerita tambahan berfungsi sebagai ilustrasi alur utama. Rangkaian peristiwa-peristiwa cerita yang logis disusun dalam suatu struktur alur oleh pengarangnya.
Penggunaan alur dalam sebuah cerita dapat dibedakan menjadi alur lurus, alur sorot balik (flashback), dan alur campuran.
a)        Alur lurus
Alur lurus disebut juga alur linier atau alur maju. Alur lurus adalah alu yang berjalan secara urutan dari awal cerita sampai akhir cerita. Cerita mulai dari paparan, rangsangan, gawatan, tikaian, rumitan, klimaks, leraian, dan selesaian. Peristiwa dalam cerita berjalan sesuai dengankronologis cerita.
b)        Alur sorot balik atau flashback
Alur sorot balik adalah alur yang dipakai dalam cerita dengan diawali cerita, kemudian cerita berbalik ke masa lampau. Seluruh isi cerita sebenarnya kilas balik peristiwa masa lalu. Contoh cerita Keluarga Permana.
c)        Alur campuran
Alur campuran adalah campuran antara alur lurus dan alur sorot balik. Cerita diawali dengan alur lurus. cerita berjalan secara kronologis. Di tengah cerita terjadi penceritaan masa lampau, kemudian cerita dilanjutkan lurus.
Pola alur umumnya hampir sama dalam struktur alurnya sebagai berikut: paparan (eksposisi), rangsangan (penampilan masalah), gawatan, tikaian, rumitan, klimaks, leraian, dan selesaian.
Bagian-bagian alur dapat diringkas menjadi lima bagian, yaitu:
a)        Tahap Perkenalan atau eksposisi
Tahap ini juga disebut pemaparan atau pendahuluan, yakni bagian cerita berupa lukisan waktu atau tempat, agar pembaca mengetahui di mana dan kapan cerita itu terjadi.
b)        Penampilan Masalah
Bagian ini menceritakan persoalan yang dihadapi oleh pelaku
cerita. Dalam bagian ini mulai terasa adanya konflik.
c)        Puncak Ketegangan
Tahap  ini  menggambarkan  masalah  dalam cerita sangat ga-
wat atau telah mencapai puncaknya (klimaks).
d)       Ketegangan Menurun
Tahap ini menceritakan masalah telah berangsur-angsur dapat diatasi dan kekhawatiran mulai hilang.
e)        Penyelesaian
Bagian ini sering disebut peleraian, yakni masalah telah dapat diatasi oleh para pelaku. Pengarang memberikan pemecahan dari semua peristiwa yang telah terjadi dalam cerita atau bagian-bagian sebelumnya.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa alur merupakan rangkaian kejadian atau peristiwa dalam cerita secara logis dan kasualitas. Sebuah kejadian menjadi sebab suatu kejadian yang lain. Alur memiliki lima tahapan, yaitu perkenalan atau pengantar, penampilan masalah, puncak ketegangan, ketegangan menurun, dan penyelesaian. Cara penyusunan alur di dalam cerita dinamakan pengaluran. Apabila cerita disusun berurutan, mulai dari kejadian awal lalu diteruskan dengan kejadian-kejadian berikutnya hingga akhir, maka cerita yang demikian disebut alur sorot balik (flashback). Apabila cerita itu menggunakan alur secara bergantian, artinya sebagian mengguna-kan alur lurus dan sebagian lagi menggunakan alur sorot balik. Cerita yang mengungkapkan kembali peristiwa-peristiwa yang telah terjadi sebelumnya, cerita itu beralur campuran (Ahmad dalam Sudjiman, 1992:3; Suharianto, 1982: 29).
Berkaitan dengan hal itu, alur dalam karya sastra pada umumnya terbentuk bagian-bagian yang lengkap, maksudnya cerita disusun berawal dari permulaan terus diikuti peristiwa-peristiwa berikutnya lalu ditutup dengan akhir cerita. Dengan demikian alur itu dapat diartikan, jalinan peristiwa secara berurutan dalam sebuah cerita dengan memper-hatikan sebab akibat sehingga cerita itu merupakan kesatuan yang padu, bulat, dan utuh. Alur berbeda dengan jalan cerita, alur memperhatikan hubungan sebab akibat dalam rangkaian peristiwa, sedangkan jalan cerita hanya sekedar mempersoalkan lanjutan peristiwa demi peristiwa.

5)        Latar
Unsur intrinsik lain yang paling penting dalam karya sastra adalah latar atau setting karena setiap gerak tokoh-tokoh cerita menimbulkan peristiwa-peristiwa di dalam cerita, berlangsung dalam suatu tempat, ruang dan waktu tertentu. Yang dimaksud dengan latar atau landas tumpu (setting) cerita adalah tempat peristiwa dalam cerita terjadi.
Menurut Aminuddin (2000:67) setting bukan hanya berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk membuat suatu cerita menjadi logis. Ia juga memiliki fungsi psikologis sehingga setting pun mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana tertentu yang menggerakkan emosi, aspek kejiwaaan pembacanya.
Menurut  Aminuddin  (2000:68),  setting  dibagi  menjadi dua ma-
cam, yaitu setting fisikal dan setting pesikologis. Tempat atau ruang yang dapat diamati, seperti di kampus, di kafetaria. Termasuk di dalam unsur latar atau landas tumpu ini adalah waktu, hari, tahun, musim, atau periode sejarah, misalnya di zaman perang kemerdekaan, di saat upacara sekaten (Baribin, 1985:63-64). Setting-setting yang disebutkan itu termasuk setting fisikal. Setting psikologis dapat berupa suasana maupun sikap serta jalan pikiran suatu lingkungan masyarakat.
Perbedaan setting fisikal dan setting psikologis adalah (1) setting yang bersifat fisikal berhubungan dengan tempat, misalnya kota Jakarta, daerah pedesaan, pasar, sawah, dan sebagainya, serta benda-benda dalam lingkungan tertentu yang tidak menuansakan makna apa-apa, sedangkan setting psikologis adalah setting berupa lingkungan atau benda dalam lingkungan tertentu yang mampu menuansakan suatu makna serta mampu mengajak emosi pembaca, (2) setting fisikal hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat fisik, sedangkan setting psikologis dapat berupa suasana, sikap, serta jalan pikiran suatu lingkungan masyarakat tertentu, (3) untuk memahami setting fisikal, pembaca cukup melihat dari apa yang tersurat, sedangkan pemahaman terhadap setting yang bersifat psikologis membutuhkan adanya penghayatan dan penafsiran, dan (4) terdapat saling pengaruh dan ketumpangtindikan antara setting fisikal dengan setting psikologis.
Sebuah  cerpen  memang harus  terjadi  di suatu tempat dan dalam
suatu waktu, harus ada tempat dan ruang kejadian. Setting bisa berarti banyak yaitu tempat tertentu, daerah tertentu, waktu t ertentu, tetapi hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, situasi lingkungan atau zamannya dan sebagainya (Sumardjo, 1986:76).
Secara sederhana dapat dikatakan setting cerita terdiri atas setting waktu dan seting tempat. Setting waktu adalah waktu terjadinya peristiwa dalam cerita. Setting tempat adalah tempat terjadinya suatu peristiwa dalam cerita.

6)        Sudut pandang (point of view)
Di dalam karya fiksi para pembaca dapat menikmati berbagai cerita yang berbeda dengan tokoh-tokoh cerita yang berbeda pula. Ada novel atau cerita pendek yang menggunakan tokoh “aku” atau “saya” dan novel atau cerpen yang lain menampilkan tokoh dengan memakai nama orang atau orang ketiga. Hal ini terjadi karena dalam menuturkan kisahnya itu pengarang menduduki posisi atau tempat tersendiri di dalam cerita. Kadang-kadang melibatkan diri di dalam cerita dan pada cerita yang lain ia berada di luar cerita sebagai pengamat. Jadi, pengarang sebagai pencerita membawakan kisahnya itu dari sudut pandangan sendiri. Sudut pandang dapat diartikan sebagai tempat pengarang di dalam mengisahkan ceritanya. (Zulfahnur, 1997:35-36).
Menurut Zulfahnur (1997:36), sudut pandang atau pusat pengisahan diartikan sebagai tempat pengarang di dalam ceritanya atau dari mana peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam ceritanya itu dilihat.
Aminuddin (2000:90) menyebut sudut pandang dengan istilah titik pandang. Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Menurutnya, sudut pandang dibedakan menjadi (1) narator omniscient, (2) narator observer, (4) narator observer omniscient, dan (4) narator the third person omniscient.
Narator omniscient adalah narator atau pengisah yang juga berfungsi sebagai pelaku cerita. Karena pelaku adalah pengarang, maka akhirnya pengisah juga merupakan penutur yang serba tahu tentang apa yang ada dalam benak pelaku utama.
Narator observer adalah pengisah yang hanya berfungsi sebagai pengamat terhadap pemunculan para pelaku serta hanya tahu sebatas perilaku lahiriah para pelaku.
Narator observer omniscient adalah pengisah yang berfungsi sebagai pengamat dan pelaku dalam cerita. Cerita dengan sudut pandang ini, pengarang isebagai pelau sampingan.
Narator the third person omniscient adalah pengisah yang berfungsi sebagai orang ketiga. Pengarang tidak terlibat sebagai pelaku dalam cerita, tetapi ia serba tahu.

7)        Amanat
Menurut Zulfahnur (1997:26), amanat adalah pesan berupa ide, gagasan, ajaran moral, dan nilai-nilai kemanusiaan yang ingin disampaikan/dikemukakan pengarang lewat cerita. Amanat cerita dapat disampaikan secara implisit dan eksplisit. Amanat disampaikan secara implisit misalnya disiratkan dalam tingkah laku tokoh-tokoh cerita. Eksplisit artinya bila dalam tengah atau akhir cerita pengarang menyampaikan pesan-pesan, saran-saran, nasihat, pemikiran, dan sebagainya.
Dengan penjelasan itu, amanat sebuah cerita dapat ditemukan oleh pembaca dengan membaca cerita secara intens. Amanat merupakan penilaian sang pembaca. Amanat yang ditemukan pembaca kemungkinan bervariasi. Meski demikian, amanat cerita itu mempunyai dasar yang kuat yaitu disarikan dari cerita itu sendiri. Amanat cerita yang ditemukan oleh seorang pembaca kemungkinan berbeda dengan temuan pembaca yang lain. Ini bergantung pada pengalaman pembacanya. Oleh karena itu, di dalam sebuah cerita kadang ditemukan banyak amanat.

DAFTAR PUSTAKA


Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.

-------. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Baribin, Raminah. 1985. Kritik dan Penelitian Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.

Gani, Rizanur. 1998. Pengajaran Sastra Indonesia: Respon dan Analisis. Jakarta: Depdikbud.

Haryati, Nas. “Pengembangan Kemampuan Bersastra”, Makalah Disampaikan dalam Bimbingan Teknis Guru SMP/MTs Mata Pelajaran Bahasa Se-Jawa Tengah Tahun 2005, Tidak diterbitkan.

Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta :Pustaka Jaya.

Sumardi. 1999. “Bagaimana Mengembangkan Fiksi yang Baik?” dalam Buletin Pusat Perbukuan, Edisi November Nomor 05/1999. Departemen Pendidikan Nasional.

Zulfahnur, Z.F., Sayuti Kurnia, dan Zuniar Z. Adji. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Depdikbud.

Semoga bermanfaat. .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar